Senin, 25 April 2016

Penerimaan Santri Baru

Alhamdulillah....
Segala Puji bagi Allah.

Penerimaan Santri Baru untuk Tahun ajaran 2016-2017 telah ditutup dengan jumlah santri sebanyak 36 Santri. Mohon maaf untuk semua calon wali santri yang putra-putrinya belum bisa diterima di SDIT Nurul Huda, karena terkait dengan jumlah ruang kelas yang belum mencukupi.
Terima kasih atas partisipasi, kepercayaan dan dukungan dari Yayasan, Dewan Manajemen, PG-TK IT Nurul Huda, serta masyarakat khususnya wilayah Grogol dan sekitarnya.

Semoga Penerimaan Santri Baru SDIT Nurul Huda Grogol lebih baik dan mampu menampung calon santri yang lebih banyak untuk tahun yang akan datang.



Panitia PSB SDIT Nurul Huda

Jika Tidak Gila Semua Biasa Saja



Kita saling percaya.
Kita saling berjanji untuk sebuah mimpi.
Kita saling menguatkan untuk melompat lebih tinggi.





Jika awalnya tidak gila, maka selanjutnya akan biasa saja. Petikan kalimat dari Eistein, fisikawan terhebat yang pernah lahir di jagat raya itu, pernah kubaca di buku Gurunya Manusia, ciptaan Munif Chatib. Terasa aneh memang. Gila yang seperti apa, yang membuat segalanya menjadi luar biasa? Apakah guru harus bertingkah seperti orang gila? Berfikir seperti pikiran orang gila? Atau hanya sebuah filosofi saja?

Pertama-tama, muncul pertanyaan besar di benakku. Karena tertarik, aku membacanya berkali-kali, mencoba memahaminya. Aku mencerna kalimat itu seolah-olah kepalaku ini sebuah sistem pencernaan. Kutambahkan enzim-enzim untuk memecah kata demi kata dan melarutkannya. Kemudian kata-kata itu kusaring dan kuperas untuk mendapatkan sari-sari maknanya. Hingga pada satu titik, terwujudlah sebuah kesimpulan sendiri, bahwasanya aku harus menjadi guru “gila”, yang dengan sihirku berupa ucapan, gerakan tongkatku berupa tindakan, dan mantraku berupa motivasi, aku mampu membawa sebuah angin segar berupa perbedaan untuk muridku.

Kisah guru yang gila itu bermula pada musim kelima, di tahun ke-tujuh aku mengajar. Sungguh cepat waktu memelukku sebagai guru. Dulu yang aku sendiri tak tahu mengapa mau menerima pekerjaan yang sangat menguras pikiran ini, hingga sekarang mensyukuri apa yang telah aku putuskan atas pekerjaan ini. Benar adanya, waktu itu relative sekali. Cepat bagi yang mampu menikmatinya, lambat bagi yang selalu mengeluh dan bersungut ria, bahkan jalan di tempat bagi insan yang tak kerasan, yang tubuh dan pikirannya tidak pada dimensi yang sama. Kelas baru, angkatan baru, program baru dan kebijakan kepala sekolah yang baru. Musim ini, aku harus mengampu semua mata pelajaran, karena guru kelas penuh menjadi pola baru yang sebelumnya guru mata pelajaran menjadi rutinitasku. Ada sebuah tantangan, ada sedikit ketakutan. Well, aku kira itu sebuah kewajaran.

Perasaan khawatir untuk bisa menjadi guru kelas sepenuhnya, memacuku untuk belajar banyak, membaca banyak, mendengar banyak, berusaha banyak, dan yang tak lupa, harus makan banyak, karena tenaga dan pikiranku akn terkuras lebih. Menghadapi tantangan tersebut, aku dirundung sedikit kegalauan. Tapi, aku harus move on dan selalu berusaha lebih seperti tahun-tahun sebelumnya. Bukankah guru itu manusia pembelajar? Yang bukan hanya belajar di kelas formal saja, karena sesungguhnya, lingkungan adalah madrasah yang sangat baik. Bukankah guru itu tak harus merasa paling pintar sendiri? Bahkan terkadang kujumpai, aku kalah pintar dibanding muridku pada sudut-sudut tertentu yang padanya pun secara tidak langsung aku juga berguru. Biarlah aku dikatakan, Kebo Nusu Gudel, setidaknya, peribasa di buku Pepak Bahasa Jawa itu, berhasil kubuktikan di dunia nyata. Meskipun saat ini aku sedang berproses menjadi sarjana pendidikan, yang dulunya aku bukan seorang lulusan pendidikan, namun aku tak berkecil hati, karena prinsip bahwa semua ilmu itu bisa dipelajari. Aku meyakini, satu poin utama yang sangat krusial untuk menjadi guru adalah, hati. Seorang guru tanpa hati ibarat berfikir namun tak pernah merasakan. Ia sulit menilai baik dan buruk, benar dan salah atau bahkan mungkin tak ‘kan bisa mengenal dirinya sendiri. Bekerja dengan hati, pasti mau melakukan apapun, mau memberikan apapun, tanpa embel-embel apapun, pastinya, tanpa berharap apapun.

Purnama pertama, Kuamati karakter murid-muridku. Kulampirkan catatan-catatan kecil pada setiap nama. Dalam setiap kesempatan, kuselipkan waktu untuk mengamati. Pada saat pelajaran, istirahat, jam tambahan, rujakan, bahkan saat di rumah pun masih kucoba untuk mengamati mereka melalui pesan dan informasi dari orang tua. Memang benar, untuk mendapatkan hasil dengan tingkat akurasi yang terjaga, aku juga harus bersahabat dengan orang tua muridku, berdiskusi seputar kegiatan di rumah.

Purnama kedua, ketiga dan keempat. Kutemukan kerangka-kerangka sifat, bakat, pola pikir, serta kecenderungan dalam menjalani kebiasaan sehari-hari. Lalu kuberikan beberapa tes pengembangan diri untuk melihat apakah benar selama ini usahaku untuk meng-observasi. Dan hasilnya pun 90% akurat. Memang terdapat beberapa ketidaksamaan, karena aku sendiri juga kesulitan untuk menembus kehidupan beberapa muridku itu. Tapi, hasil ini lebih dari yang sebelumnya aku perkirakan. Maka, pada akhir bulan Oktober, di siang yang terik, menjelang musim penghujan, aku berteriak sendiri di dalam kelas, eureka!

Purnama kelima. Kusiapkan strategi berdasarkan catatan di buku harianku. Karakter, sifat, kecenderungan pola pikir, tipe kecerdasan dan kebiasaan yang telah kurangkum melalui beberapa pengamatan dan dilengkapi hasil tes kepribadian, memudahkanku untuk masuk dalam hidup mereka yang berbeda-beda. Pada bulan ini, penanaman kejujuran, motivasi dan interpersonal approach semakin aku tingkatkan kapasitasnya.

Purnama keenam. Kerja keras dimulai disini. Kutawarkan pada mereka untuk pulang lebih akhir daripada biasanya. Meski setiap harinya pun mereka sudah pulang paling terlambat. Mereka mengangguk setuju untuk tambahan di hari jumat dan sabtu. Dengan berbekal semangat, beberapa bungkus nasi pecel, yang tandas dalam hitungan menit, kami menghabiskan waktu untuk mempelajari materi. Tak ada paksaan, tak ada tekanan, tak ada intimidasi. Yang ada hanya, bercanda, bercanda, bercanda, dan memasukkan materi dalam canda dan tawa. Itu saja.

Purnama ketujuh. Setelah rehat sejenak pada paruh musim, tantangan segera dimulai. Inilah waktu yang tepat untuk berjuang dengan keras dan cerdas melebihi usaha-usaha anak lain seusia mereka. Musim try out akan segera datang, maka materi-materi baru segera aku tambahkan. Terkadang penat, letih, lelah, menyerah ,bahkan tubuh tak mau diajak kompromi menjadi godaan untuk mengendurkan ikat pinggang. Jika kondisi itu datang, aku selalu melihat dan merasakan semua yang kulewati dengan hati. Untuk apa aku hidup, untuk apa aku di beri hati. Maka semangat akan berkobar lagi. Selain itu, aku selalu berdiri dibawah tulisan-tulisan yang tergantung di dalam kelas, dimana mimpi-mimpi muridku telah dilayangkan. Tulisan tersebut, melalui sebuah lorong waktu, seolah-olah berada pada masa yang akan datang. Kulihat muridku membawa tulisan itu, dan berjoget di sekolah yang mereka impikan.
Aku berdiri dibawahnya seperti seorang pengangguran habis kena PHK saja. Mematung, termangu sendiri, bola mata berkaca-kaca, tersenyum, merenung, mengingat-ingat empat generasi sebelumnya yang lengkap dengan kegagalan dan keberhasilan yang mewarnai. Saat sekolah telah sepi, sebelum pulang, selalu kusempatkan untuk membaca mimpi-mimpi itu. Serta merta, mulutku mengucap, ”Tuhan, peluklah mimpi-mimpi mereka…” Hal yang sama selalu kulakukan terus menerus, berulang-ulang. Tujuh hari dalam seminggu, sepenggal purnama dan beberapa bulan berikutnya hingga aku tak bisa lagi mengingatnya. Aku seperti guru “gila” yang tak punya pekerjaan tetap. Ya, guru yang tak waras.

Purnama kedelapan, kesembilan hingga purnama itu hilang ditelan kenangan. Musim try out, sudah menyapa. Tiada hari tanpa latihan, latihan, latihan, gagal, evaluasi, gagal dan evaluasi lalu masih gagal. Tak terhitung kegagalanku untuk menyempurnakan hasil mereka. Tak kurang dari dua tangan dengan lima jari terbuka. Pada satu waktu, aku berdiri di depan mereka untuk mengevaluasi, melayangkan sihir dan mantraku. Aku menunjukkan titik mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diperbaiki.
Sejatinya, sebagai guru aku tak hanya memberikan materi saja, namun akhlak, kejujuran, sikap dan cara memandang kehidupan juga kutularkan. Pada saat evaluasi itulah kesempatanku untuk masuk dalam hidup mereka dan menyentuh hati mereka. Tak jemu-jemu aku sampaikan pada mereka bahwa, Kapan lagi mereka membuat ayah ibu mereka tersenyum bangga? Menunggu esok saat dewasa? Menunggu kelak saat tua? Tak perlu menunggu nanti, kuyakinkan sekarang pun mereka bisa melakukan itu.
Kulihat, wajah mereka menunduk. Diam dengan mata memerah saga. Tak tahu, apakah mereka menangis ataukah kelilipan saja. Namun, semua jelas, saat suaraku terpantul-pantul pada dinding kelas. Samar-samar nan pelan kudengarkan suara isak yang saling bersahutan.

“Sekolah ini tidak mengajarkan kalian untuk menjadi biasa-biasa saja. Kalian berbeda. Kalian pembelajar keras nan cerdas. Kalian penuh kejujuran. Jangan sia-siakan do’a dan sujud ayah ibumu di malam yang dingin dan pagi buta. Kalian bisa lebih baik dari angkatan sebelumnya. Kalian adalah cahaya yang siap untuk bersinar, berpendar lalu menyebar menerangi sekitar kalian. Percayalah, Ustad bisa merasakan itu…” Dalam isak tangis itu kulihat, semacam percikan api bergeliat membakar hati mereka, lalu membesar dan terus membesar. Api itu membumbung tinggi saling menyambar diantara mereka hingga membentuk sebuah kata, semangat.

Untuk mengusir kejenuhan menghadapi try out, seringkali variasi-variasi dan terobosan aneh kulakukan saat mengajar. Terobosan itu terkadang sesuai dengan teori dan metode para ahli, namun terkadang pula mengkhianati pemikiran para ahli. Aku pernah memasukkan wacana membuat video klip dan video perpisahan, saat sedang tegang-tegangnya berhitung matematika. Pernah juga belajar IPA perihal Tata Surya sambil mendengar lagu “Melompat Lebih Tinggi” dari Sheilla On 7, yang menjadi menjadi class theme song. Tak jarang, aku membuat soal pendalaman dalam bentuk cerpen, Teka Teki Silang dan model-model aneh lainnya. Terkadang kami adu cepat berfikir dengan hitungan detik. Dan satu terobosan yang paling cetar membahana adalah coretan bedak bayi yang membuat wajah mereka dan wajahku seperti Badut Pasar Malam.

Aku mencoret mereka jika mereka salah lebih dari empat dari empat puluh soal atau mereka satu kelas mencoret wajahku jika salah mereka hanya empat atau kurang dari itu. Aku teringat saat membacakan syair tentang bedak itu di depan mereka.
Pada siang hari setelah kami saling bercoretan bedak, aku bersajak,

Aku berdiri di sini dengan segenggam bedak bayi.
Tidak sekedar mengajarimu untuk paham sebuah hukum sebab akibat.
Lebih, ya, lebih dari sekedar aku mencoretmu ataukah engkau mencoretku.
Lebih dari hanya sekedar.
Kita paham seperti apa guru yang "gila" dan murid yang juga "gila".
Bukankah jika tidak gila maka semuanya akan berakhir biasa saja?
Banyak cara telah kita tempuh, pun juga banyak do'a yang telah terkirim jauh.
Waktu yang terlewat, masa yang penuh cobaan berat, membuat kita harusnya semakin kuat.

Engkau, engkau dan sebagian engkau telah jadi pemenang karena berhasil membungkus keburukan itu dengan kertas bening bernama kesadaran.
Tak banyak yang bisa bertarung setangguh itu dalam kurun delapan purnama terakhir.
Engkau adalah sang Tabula Rasa, yang terlahir putih bersih, dan lingkungan adalah sumber kekuatan yang mampu merubahmu.
Baik ataupun buruk.

Jika hatimu telah tertulis yang baik, maka jangan pernah engkau menindihnya dengan tulisan lain yang lebih buruk.
Apalagi saat nanti kau tak lagi disini.
Sebab, aku tak bisa menghapusnya seperti saat kau di sisi.
Aku tak ingin kisah semacam itu terulang kembali pada masamu.
Nak, biarlah wajah kita putih karena bedak yang kita "titipkan" dengan ujung jari ini.
Karena kita hendak menuliskan hal-hal baik di atas wajah kita.
Tentang kisah mencari masa depan.
Tentang kisah memaknai hidup.

Bedak itu akan menunjukkan bahwasanya, kita lebih dari sekedar guru dan murid.
Kita adalah berpasang sahabat yang belajar untuk terus membutuhkan satu dengan lainnya.
Kita sepasang sayap yang tak bisa terbang jika sendirian.
Kita adalah hati yang saling mengisi.
Kita saling percaya.
Kita saling berjanji untuk sebuah mimpi.
Kita saling menguatkan untuk “Melompat Lebih Tinggi.”
Dan bedak itu, hanyalah untuk kita. Bukan dan jangan untuk yang lain.
Karena kisah tak akan tertulis sama.

Aku tersenyum meski beberapa diantara mereka terharu. Bahagia rasanya. Lebih tersenyum lagi, bahkan tertawa jika mengingatnya, kami tidak boleh menghapus bedak itu jika belum sampai rumah. Tak ayal, orang yang melihat kami akan bertanya-tanya perihal wajah kami yang belepotan bedak macam topeng monyet. Hanya saja, kami sudah saling berjanji dan percaya diri untuk menjalaninya. Karena kami ini sekumpulan guru dan murid yang gila. Sering juga, kami berdiskusi pada bab-bab yang kurang mereka pahami ataupun sedikit memusingkan. Begitu berkali-kali, bergantian dan berulang kembali dari hari ke hari. Kami tak pernah bosan. Gagal coba lagi. Jatuh berdiri lagi. Sedih tertawa lagi. Menangis bahagia lagi. Lelah kuat lagi. Sakit sembuh lagi. Bahkan, tak jarang beberapa diantara mereka selalu menyemangatiku, melalui pesan-pesannya yang terkirim sebelum aku terlelap di larut malam. Mereka mengirimkan pesan yang membuatku kembali kuat, sehat dan mengalahkan lelah dan penat.
“See U tomorrow, Oyasuminasai Sensei…”
“Kita saling berjanji untuk sebuah mimpi… kita akan Melompat Lebih Tinggi…”
“Ustad, Jangan sakit…”
“Us, kapan masuk lagi? Di kelas jadi sepi…”
“Ustad sakit apa? Ustad gak boleh sakit… kita masih terus berjuang…”
“Sehat…sehat…sehat. Ustad, Pasti sehat…! Jangan kalah, Us! Ustad mengajariku begitu kan?!”

Dalam kondisi sakit, membacanya berulang-ulang, kedua kelopak mataku terasa penuh oleh air. Perlahan, terasa basah dan sejuk.

***

Tak mudah untuk menciptakan iklim baru dengan karakter yang baru pula, pun juga tak mudah untuk membagi waktu dengan kesibukanku mencari tambahan rejeki di luar sekolah. Beruntung aku memiliki seorang kepala sekolah luar biasa yang memahami kehidupanku. Beruntung juga aku memiliki rekan-rekan kerja yang selalu menempatkan cinta, persahabatan dan kepercayaan yang bagi sebagian orang lain mungkin menyangsikan semua itu. Rekan-rekan kerjaku itu, layaknya ibu-ibu PKK yang tak ada duanya. Mereka melakukan apapun demi kebaikan anak didiknya. Diantara mereka, sering kujumpai adalah, selalu membawa makanan setiap pagi, menawariku sarapan nasi pecel yang uangnya tidak mau aku ganti, membahas baju online yang lagi trendy, catering bergizi, dan yang selalu menjadi trending topic adalah rencana liburan ke Bali yang gak jadi-jadi.
Lalu, rekan kerjaku yang pria, seperti petugas puskesmas honorer yang telah mengabdi tahunan, yang mendapat bagian suntik cacar air keliling pelosok desa. Mereka siap sedia untuk dimintai tolong dalam keadaan apapun dan tak segan menawarkan diri meski tugas mereka juga tak kalah berjubelnya. Luar biasa bukan?

***

Waktu terus berjalan memelukku bersanding kenangan. Ujian Nasional yang melebur namanya menjadi Ujian Sekolah, telah terlewati dengan segala kejujuran yang menjadi kebiasaan tak tertulis di sekolah ini setiap tahunnya. Saaat menjelang ujian dilaksanakan, aku berdiri di kelas SD tetangga karena kami harus bergabung untuk Ujian Sekolah, aku sampaikan pada mereka,

“Nak, jujurlah. Apapun hasilnya. Satu, dua atau beberapa soal, sama saja kau mengorbankan kerja keras dan usahamu. Sama saja kau meremehkan anugerah yang Tuhan titipkan padamu. Satu, dua atau beberapa, sama saja kau mengkhianati kejujuranmu. Maka, usahlah ragu. Percaya pada dirimu, usahamu, kerja kerasmu, do’amu dan restu dari ayah ibumu. Itu sudah cukup untuk mengenggam duniamu.”

Hatiku berbinar, pun juga wajahku terasa bersinar. Semua persiapan telah kami tempuh. Kami seolah-olah telah berjalan ditengah padang pasir yang luas, dan kini berada di dekat sebuah oase kehidupan, bukan ilusi sebuah fatamorgana. Maka, kesempatan untuk mendapatkan oase itu semakin nyata. Seorang guru akan selalu menaruh kepercayaan pada anak didiknya. Itulah yang selalu kulakukan. Jerih payah dan kejujuran yang telah mereka pegang teguh akan membuahkan hasil. Kini nasib telah mereka tentukan sendiri, Sisanya, biarlah tangan Allah yang bekerja.

***

Siang hari, menuju kembali ke sekolah selepas mendaftarkan mereka untuk tes lanjutan Sekolah Menengah Pertama, sebuah pesan terkirim padaku. Aku menepi, lalu kubaca perlahan pesan itu. Darahku berdesir, tanganku bergetar. Pesan dari Kepala Sekolah itu, membuatku terdiam untuk beberapa waktu. Sepanjang perjalanan, air mata tak berhenti membasahi pipiku. Aku tak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Aku selalu bingung, mengapa aku tersedu. Sekuat aku tahan, sekuat itu pula air mata itu mencari jalan keluar. Yang pasti, hanya aku yang bisa merasakan apa yang terjadi di dalam hatiku.

Di atas motor kreditanku, rasa syukur yang teramat dalam terucap berulang-ulang. Hasil yang menakjubkan untuk mereka, untuk ayah ibu mereka, untuk sekolah ini, untuk perjuangan kami, terlebih untuk diriku sendiri. Banyak rekor yang terpecahkan, yang selama ini ingin sekali aku tuntaskan. Dari angkatan pertama aku selalu percaya, cepat atau lambat, mimpi itu pasti terwujud. Butuh waktu empat tahun lamanya, empat puluh delapan purnama untuk melampaui nilai terbaik sekolah ini. Aih, aku semakin tersedu, dijalanan. Sayang pagi teramat terik, andai saja hujan, maka akan aku buka helm dan penutup wajah Hello kitty ku lalu berteriak keras. Karena dengan hujan, semua orang tak tahu, aku sedang menangis bahagia. Semua kata, semua janji, semua harapan yang kusampaikan pada muridku, semua mimpi dan nilai yang mereka targetkan telah terpenuhi.
“Berhasil, Nak. Sihirku, mantraku, ayunan tongkatku telah menemukan muaranya. Kata-kata semangat yang kalian teriakkan setiap pagi dan siang hari, telah berhasil dan menjadi kenyataan.” Penutup wajahku basah tak terkira .

Tak terbantahkan lagi, aku telah menemukan makna, jika awalnya tidak gila, maka selanjutnya akan biasa-biasa saja. Aku bangga menjadi guru “gila”, hingga mampu membujuk mereka menjadi murid yang juga “gila”. Aku tak begitu mendewakan nilai kognitif, karena prestasi kapanpun bisa dicari. Namun, dengan menjadi guru “gila”, aku ingin menyampaikan bahwasanya, tak ada yang mustahil untuk meraih mimpi. Hanya butuh memantaskan diri untuk meraihnya. Nilai kehidupan adalah tujuan akhirku. Bahwa, hidup bukan serta merta nilai yang tertulis saja. Ibadah, kejujuran, hormat pada ayah ibu adalah beberapa dari sekian hal yang harus mereka jadikan dasar untuk hidup.

Menjadi guru, mengajariku arti hidup dan menerima.
Menjadi guru, melatih hatiku menjadi wadah masa depan yang berhias kesabaran.

Benar sekali, ada kalanya kita butuh intuisi untuk memilih sesuatu yang tak bisa kita logika.
Karena, menjadi guru “gila”, nyatanya tak menjadikanku Gila yang sebenarnya



Desi Arianto
Penulis adalah Guru Kelas 6 SDIT Nurul Huda Grogol Kediri
Penulis bisa dihubungi melalui: ariantz12seasons@gmail.com